Rabu, 03 Juni 2009



MEMAHAMI MAKNA DAKWAH,
AMAR MA’RUF DAN NAHI MUNKAR
Firman Allah:
“Dan hendaklah ada diantara kamu satu golongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung” (QS.Ali Imran [3] ayat 104).

Seputar Makna Dakwah, Amar Ma’ruf, dan Nahi Munkar
Sebelum seseorang memutuskan terjun ke dunia dakwah, sepatutnya dia berusaha memahami dengan benar terlebih dahulu sedikitnya lima kata kunci (key word) yaitu makna dakwah, amar ma’ruf, nahi munkar, tabligh, serta makna muballigh dan muballighah. Dalam tulisan pertama ini, akan difokuskan terlebih dahulu untuk membahas tiga kata kunci yaitu dakwah, amar ma’ruf, nahi munkar. Dalam tulisan selanjutnya, insya Allah akan kita bahas tentang makna , tabligh, serta makna muballigh dan muballighah.
Ditinjau dari segi bahasa, dakwah berasal dari kata da’â–yad’û–da’watan, yang berarti mengajak, menyeru, memanggil, mengundang, memohon (kamus al-Tanwîr hal. 438; mufradat al-alfad al-Quran hal.315). Secara terminologis, yang dimaksud dengan dakwah adalah mengajak, menyeru, memanggil, mengundang, dan mempengaruhi, serta melakukan hal-hal lain yang ada hubungan dengan maksud-maksud tersebut dengan tujuan untuk melakukan perubahan. Dalam arti merubah tata nilai (core values); merubah keadaan yang buruk menjadi baik; merubah suatu keadaan yang kurang baik kepada keadaan yang lebih baik; merubah keadaan yang pakum atau beku (jumud/ stagnan) kepada keadaan yang tercerahkan dan dinamis. Perubahan yang dimaksud sedikitnya diarahkan pada tiga hal, yaitu merubah pola keyakinan (aqidah), merubah pola pikir (fikrah), dan merubah pola hidup (harakah). Salah satu target perubahan yang diharapkan yaitu terciptanya suatu kehidupan yang istilahkan oleh Al-Quran dengan kata al-Khair (QS.3:104). Apa yang dimaksud dengan al-Khair?
Menurut Prof.DR. Wahbah al-Zuhayli, yang dimaksud dengan al-Khair adalah sesuatu yang di dalamnya terdapat manfaat dan kebaikan bagi umat manusia baik yang berhubungan dengan masalah agama maupun dunia (Tafsir al-Munîr IV hal.32). Sedangkan menurut Prof.DR.HM.Quraish Shihab, al-Khair adalah nilai universal yang diajarkan oleh Al-Quran dan as-Sunnah. M.Quraish Shihab memaknai demikian, karena merujuk kepada hadis Rasulullah SAW. seperti dikemukakan oleh Ibnu Katsir dalam kitab Tafsirnya yang berbunyi ittibâ’u al-Quran wa sunnatî– “mengikuti Al-Quran dan sunnahku.” (Tafsir al-Misbãh Vol.2 hal.164) Mengacu kepada kedua definisi tersebut, kita dapat memahami bahwa perubahan yang dikehendaki dalam dakwah Islam menuju kepada perubahan tata nilai yang bersifat universal yang terefleksikan dalam pelbagai segi kehidupan umat manusia. Tata nilai tertinggi dalam Islam adalah ajaran Tauhid. Itulah agaknya yang menjadi dasar pemikiran sehingga al-Baghawi memahami kata al-Khair tersebut dengan al-aqîdah al-Islâmiah.
Dengan demikian, secara praktis, sasaran utama dakwah Islam lebih ditekankan kepada upaya merubah keyakinan umat manusia, yang semula banyak dijiwai dan dipengarungi oleh kemusyrikan dan kemunafikan, agar benar-benar kembali kepada ajaran tauhid yang murni, serta dikondisikan sedemikian rupa agar secara praktis, mereka mampu mentranspormasikan nilai-nilai ajaran tauhid dalam dinamika kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, penekanan dakwah Islam lebih diarahkan kepada upaya pelurusan dan penataan ulang (recovery) teologi (aqidah) Islam, serta berupaya memproteksi mereka dari segala bentuk kemusyrikan dan pelbagai fenomena kehidupan yang ditimbulkannya. Ini, merupakan program utama dari misi kenabian, termasuk misi kenabian Rasulullah SAW. (lihat QS. Al-Fath [48] ayat 8). Namun demikian, pendekatan dan tata cara penyampaiannya, sedapat mungkin disampaikan secara persuasif dan elegan, yakni dengan cara-cara yang lebih bersifat memberikan pencerahan dan menawarkan solusi kehidupan. Paling tidak, hindari cara-cara yang kasar, kaku, rigid dan picik, yang menimbulkan kesan pemaksaan, yang pada akhirnya akan menimbulkan kesan negatif terhadap citra Islam sebagai rahmatan lil’âlamîn. Firman Allah:
“Serulah ke jalan Tuhan-mu dengan cara-cara yang bijaksana, nasehat (yang menyentuh hati) serta berdiskusilah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.”(QS.16:125).
Akhirnya, muncul sebuah pertanyaan, dari mana kita harus memulai perubahan? Sudah barang tentu, harus dimulai dari diri sendiri, lalu keluarga, masyarakat sekitar kita, kemudian bangsa dan negara. Orang-orang bijak mengatakan: “Sebuah bangsa akan berubah jika dimulai dari perubahan semua komponen masyarakat yang ada pada bangsa itu, sebuah masyarakat akan berubah apabila dimulai dari perubahan keluarga yang ada pada masyarakat itu, sebuah keluarga akan berubah apabila dimulai dari perubahan individu-individu yang ada pada keluarga itu, setiap individu akan berubah apabila dimulai dari perubahan yang ada pada diri individu-individu tersebut; yaitu merubah keyakinannya, pola pikirnya, dan pola hidupnya; baik secara konservatif maupun secara inovatif. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mau merubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri…dst. (QS.13:11).
Dan firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tidak akan mampu memadharatkan kamu orang-orang yang sesat itu, jika kamu telah mendapatkan petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu lakukan” (QS.5:105).

Makna Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar
Setelah kita mulai memahami konsepsi dakwah dan memahami arah serta kiprah perjuangannya, selanjutnya mari kita pahami tentang makna amar ma’ruf dan nahi mungkar. Dengan memahami kedua istilah tersebut, kita dapat memperoleh gambaran di mana letak persamaannya dan di mana letak perbedaannya, sehingga kita dapat mensinergikan ketiga konsep tersebut. Setidaknya, kita tidak mengulangi kesalahpahaman dan tidak mengulangi kesalahan dalam mengaplikasikannya.
Ditinjau dari segi bahasa, amar berasal dari kata amara-ya’muru-amran, yang berarti perintah atau suruhan. Pemegang perintah atau pemerintah atau penentu kebijakan, dalam bahasa Arab, disebut âmir. Para ulama ushul fiqh, secara filosofis mendefinisikan kata amar dengan pemaknaan thalab al-fi’li min al-a’lâ ilâ al-adnâ, artinya “Tuntutan agar mengerjakan suatu perbuatan yang datang dari atas (atasan) yang ditujukan kepada bawahan. Karena itu, secara filosofi kebahasaan, amar itu lebih bersifat instruksi atau top down. Adapun ma’ruf, secara bahasa, berasal dari ‘arafa-ya’rifu-irfânan/ ma’rifatan-‘ârifun-ma’rûfun. Secara morfologis, kata ma’ruf merupakan bentuk kata benda yang suka dijadikan sebagai objek pembicaraan (isim maf’ûl), yang secara harfiah berarti sesuatu yang patut diketahui secara baik dan benar. Para ulama, seperti Prof.DR.Wahbah al-Zuhayli, mendefinisikan kata ma’ruf, sebagai sesuatu yang dinilai baik oleh syara’ (agama) dan akal sehat (Tafsir al-Munîr IV hal.32). Sementara ulama dan cendikian muslim lain menambahkan, bahwa sesuatu dikatakan ma’ruf selain dinilai baik oleh syara dan akal sehat, juga dinilai baik oleh adat, kultur, atau budaya, yang dalam bahasa Arab disebut ‘urf. Jadi, sesuatu dapat dikatakan ma’ruf apabila telah dinilai baik, sedikitnya oleh tiga standar nilai, syara, akal sehat, dan kultur atau budaya setempat.
Dari pengertian tersebut, kita dapat memahami bahwa amar ma’ruf memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Lebih bersifat praktis, yaitu berupa perintah, suruhan, atau anjuran.
2. Materi yang disampaikannya bersifat bebas tapi terbatas, yakni tentang apa saja yang berhubungan dengan kebaikan umat manusia, asalkan dinilai baik oleh syara atau syariat Islam, dinilai baik oleh akal sehat (common sense), dan dinilai baik oleh kultur atau budaya setempat;
3. Dilakukan secara ‘arif, dalam arti disampaikan melalui tata cata atau metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapi;
4. Bersifat pleksibel, dalam arti pendekatan, metode, media, dan hal-hal lain yang bersifat teknis, selalu mempertimbangkan dan memanfaatkan potensi kultur atau budaya setempat. Jadi, secara teknis metodologis, amar ma’ruf membuka peluang yang seluas-luas untuk memanfaatkan potensi kultur dan budaya. Itulah barangkali sehingga secara historis, konon para wali songo dahulu, mereka berdakwah dengan menggunakan media seni dan budaya;
5. Sasaran wilayah pembinaannya lebih diarahkan kepada interen umat Islam, yakni untuk peningkatan kualitas umat Islam;
6. Cenderung bersifat aktif, kreatif, dan inovatif.
Dengan demikian, kalau dikaitkan dengan konsepsi dakwah, amar ma’ruf dapat disebut sebagai dakwah internal. Lalu apa yang dimaksud dengan nahi mungkar?
Secara sederhana, nahi mungkar dapat dipahami sebagai kebalikan dari amar ma’ruf. Dalam arti, kalau amar ma’ruf bersifat memerintah, menyuruh, atau menganjurkan, sedangkan nahi mungkar bersifat melarang, mencegah, dan memproteksi. Secara bahasa, nahi berasal dari kata nahâ-yanhâ-nahyan berarti melarang/larangan atau mencegah/cegahan. Apa yang harus dicegah? Yaitu mungkar atau kemungkaran. Apa yang dimaksud mungkar? Mungkar adalah kebalikan dari ma’ruf. Kalau ma’ruf sesuatu yang dinilai baik, maka mungkar sesuatu yang dinilai buruk, yaitu dinilai buruk oleh syara/syariat (hukum-hukum agama), dinilai buruk oleh akal sehat, dan dinilai buruk oleh kultur dan budaya masyarakat setempat.
Dengan demikian, kalau kita jabarkan, nahi mungkar juga memiliki banyak indikator yang relatif sama dengan amar ma’ruf. Hanya saja, dalam teknis pelaksanaannya relatif bersifat kebalikan dari ma’ruf misalnya:
1. Bersifat praktis, yaitu berupa larangan atau cegahan;
2. Bebas tapi terbatas, yaitu menganut prinsip, “semua boleh dilakukan kecuali apabila dilarang oleh syara/ syariat Islam, akal sehat, dan kultur serta budaya setempat;
3. Sedapat mungkin dilakukan secara baik, dalam arti tetap mengindahkan kaidah hukum, moral, etika yang berlaku, dan dilakukan secara bertahap;
4. Cenderung bersifat kaku, kontraproduktif, dan kurang disukai oleh terutama oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan kemungkaran. Karena itu, tantangan relatif lebih berat;
5. Sasaran wilayah pembinaannya lebih diarahkan kepada interen umat Islam, tetapi lebih bersifat melindungi;
6. Cenderung bersifat fasif dan konservatif.
Demikian, Wallahu a’lam []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pke bhsa yang baik dan bnar och!